By : Jamson Sinaga
SETIAP kali saya melakukan sosialisasi ke masyarakat, saya selalu katakan “no money politic”. Mengapa? Sebab saya tidak mau membohongi dan membodohi masyarakat yang akan memilih saya, saya ingin masyarakat memilih saya dengan sukarela dan penuh keikhlasan. Bukan karena uang atau sesuatu yang saya bagikan, tapi karena mereka menyukai dan menerima saya apa adanya. Puji Tuhan……di kurang lebih 100 titik yang saya kunjungi, belum ada selembar “amplop” pun yang saya keluarkan dan saya berikan kepada masyarakat.
Saya cuma menyampaikan kepada mereka apa yang nanti bisa mereka harapkan/tagih/tuntut dari saya, jika mereka mengamanahkan suaranya ke saya dan saya terpilih sebagai anggota dewan DPRD Provinsi Riau pada tanggal 17 April nanti. Jadi mereka tak akan sia-sia memilih saya, sebab saya akan menunaikan tugas dan tanggung jawab kepada para pemilih (konstituen) saya. Mereka punya “hak” terhadap saya dan saya punya kewajiban terhadap mereka. Ada take and give antara saya dengan mereka.
Apa itu? Dana reses dan dana aspirasi yang memang menjadi hak mereka dan menjadi kewajiban bagi saya untuk menyalurkannya kepada mereka. Selama ini masyarakat banyak yang tidak tahu, bahwa dana-dana itu diterima oleh para anggota dewan setiap tahun dengan jumlah yang lumayan besar di luar gaji sebagai anggota dewan baik di tingkat pusat (DPR RI), Provinsi maupun Kabupaten atau Kota. Dana-dana itu merupakan hak rakyat, para anggota dewan hanya sebagai “perantara atau penyalur” saja.
Namun sayangnya tidak banyak anggota dewan yang mau terbuka (transparan) soal dana reses dan dana aspirasi ini kepada masyarakat, dengan berbagai alasannya. Padahal masyarakat berhak untuk mengetahui dan menerimanya, sedangkan para anggota dewan berkewajiban untuk menjelaskan dan memberikannya secara porposional kepada masyarakat yang sudah memilih atau menitipkan suaranya kepada anggota dewan yang bersangkutan.
Akibatnya hampir 90% masyarakat yang saya kunjungi dan saya tanyakan (singgung) soal dana-dana ini, tidak mengetahui apalagi menerimanya. Tak sedikit dari mereka yang terkejut dan melongo mendengar penjelasan saya tentang dana reses dan dana aspirasi ini, bahkan ada juga yang “ngedumel” saking kesalnya karena merasa dibohongi oleh anggota dewan yang mereka pilih di periode lalu.
Sungguh naif memang nasib masyarakat, sebab mereka “dipaksa” untuk memilih namun tidak pernah tahu apa yang menjadi hak mereka terhadap anggota dewan yang mereka pilih itu. Mereka cuma dijadikan objek “ketidaktahuan” (kebodohan) yang sengaja diciptakan dan dibentuk dari Pemilu ke Pemilu, oleh oknum-oknum caleg yang ambisius dan serakah. Tanpa sedikitpun diberikan penjelasan, pemahaman dan edukasi yang lengkap (komprehensif) tentang arti Pemilu dalam hal ini Pileg.
Padahal berkat suara masyarakat-lah, seorang caleg bisa duduk di parlemen (DPR/DPRD). Jika tak ada suara yang memilihnya atau sedkit yang memilih, maka takkan mungkin caleg tersebut bisa menjadi seorang anggota dewan yang terhormat. Namun naifnya, setelah menjadi anggota dewan banyak yang melupakan masyarakat (konstituen)nya. Selesai Pemilu, selesai pula urusannya. Nanti muncul lagi di 5 tahun yang akan datang, untuk merayu/membujuk masyarakat agar mau memilihnya kembali. Begitu seterusnya, tanpa rasa malu dan tak punya hati nurani sama sekali.
Dan saya maju sebagai calon legislatif (caleg), untuk merubah paradigma atau tradisi buruk itu. Saya tidak mau masyarakat terus-menerus dibohongi dan dibodohi oleh para caleg “penipu”, saya tak mau ikut-ikutan membohongi dan membodohi masyarakat di dapil saya. Saya akan berkata apa adanya tanpa rekayasa, agar masyarakat mengerti dan memahami tugas dan kewajiban saya sebagai orang yang mewakili mereka di dalam parlemen. Tugas saya adalah memberikan pendidikan (edukasi) politik kepada masyarakat, yang merupakan hak mereka sebagai warga negara Indonesia.
Saya ingin masyarakat ini cerdas, sehingga tak ada lagi masyarakat yang tidak mengerti. Tak ada lagi masyarakat yang “melongo”, frustasi serta bersikap masa bodoh terhadap politik. Tak ada lagi masyarakat yang bisa dibohongi dan dibodohi oleh para caleg, mau dari partai apapun juga. Masyarakat Indonesia harus cerdas dan melek politik, jika tidak bagaimana mungkin mereka bisa memilih anggota dewan yang berkualitas dan berintegritas?
Ingat, anggota dewan yang cerdas lahir dari para pemilih yang cerdas. Dan anggota dewan yang buruk, lahir dari para pemilih yang bodoh. Itu sudah menjadi “hukum alam” (sunnatullah), hukum kausalitas (sebab – akibat) yang tak bisa dihindari dan diabaikan begitu saja. Oleh karenanya jika ingin menjadi anggota dewan yang cerdas, maka cerdaskan dulu masyarakat yang akan memilih anda. Singkirkan jauh-jauh sikap egois dan licik, yang cuma ingin memperavlat masyarakat demi ambisi politik kotor merea….!!!
**(JAMSON SINAGA Caleg Partai Berkarya untuk DPRD Provinsi Riau Dapil 1 kota Pekanbaru nomor urut 1 )